Sunday, December 15, 2013

Cover Kumpulan Cerpen Lelaki dan Rembulan

Lelaki dan Rembukan adalah buku kumpulan cerpen yang disusun pada tahun awal 2000an, pada masa itu ada rentang yang cukup jauh dengan saat buku ini diterbitkan, dengan model penulisan yang berragam dalam semua cerpen yang ada dalam buku tersebut, frasa-frasa unik sering ditemukan dalam buku ini. Bagi para pembelajar yang ingin menyusun atau menulis sebuah cerpen sederhana yang tidak mau dipusingkan dengan kerumitan plot dan tata kata yang njlimet, bisa belajar dari kumpulan cerpen ini.
Kumpulan Cerpen Lelaki dan rembulan mengisahkan banyak hal yang terjadi dalam pergolakan politik kebangsaan mau pun pencarian identitas seorang remaja yang tersesat dalam rimba informasi yang bergelegak dalam arus internet yang jungkir balik. Silahkan pesan di 08174104111
Berikut ini salah satu cerpen yang termuat dalam buku tersebut:
 
"Kesaksian Terakhir
MATAHARI sudah beranjak dari puncaknya, panas pun sudah tak menyengat lagi. Di padang luas rumput ilalang yang terbentang, aku duduk sendirian mengawasi kawanan dombaku yang sedang merumput, setelah mereka istirahat di bawah pohon karena panasnya sengatan matahari. Domba-domba itu kini dengan tenang merumput kembali di bawah sinar matahari yang meredup karena senja akan segera tiba. 
Sementara aku mengawasi mereka, aku pun menatap langit yang biru tua dihiasi gumpalan-gumpalan awan putih. Khayalanku terbang jauh, melompat-lompat di antara bukit-bukit awan di atas langit. Hembusan angin sepoi sore membuatku semakin terlena dalam khayalanku.
Sesaat kemudian kesadaranku ada jauh di tempat yang tak pernah aku kunjungi sebelumnya. Aku sepertinya berada di sebuah rumah sakit, sangat jelas tercium aroma karbol dan anti septik di semua lorong yang aku lewati dan orang-orang berseragam putih berlalu lalang di sana. Aku terus berjalan tanpa tahu kemana tujuanku. Tetapi tiba-tiba kakiku berhenti melangkah tepat di depan sebuah pintu. Pintu itu memiliki nomor yang tidak aku mengerti dan beberapa hurup yang tidak aku pahami maksudnya. Aku menatap pintu itu lekat-lekat dan telingaku terusik oleh suara yang datang dari balik pintu itu, suara erangan yang aneh. 
Mataku masih menatap pintu itu dan telingaku semakin tajam mendengarkan sesuatu yang terjadi di balik pintu tersebut. Ada langkah kaki yang diseret, ada kata-kata samar terucap, ada rintihan, dan ada keluh kesah. Pasti di dalam sana ada seorang yang sedang dirawat, pikirku. Tapi siapa? 
Sementara aku masih berdiri mematung di depan pintu, terdengar suara klik pelan dan pintu itu pun terbuka. Seorang lelaki berseragam putih keluar menenteng sebuah catatan di tangan kirinya, sementara tangan kanannya mengelap dahinya yang berkeringat. Sepertinya dokter ini cukup lelah menghadapi pasiennya. Lelaki itu serta-merta mendekatiku dan berkata, "Anda cucunya, bukan?" aku belum sempat menjawab, sang dokter menarik tanganku ke sisi lorong menuju sebuah bangku kosong. Dia mendudukkan aku, sambil menggenggam tanganku dengan erat dia berkata lagi, "Kakek saudara sepertinya tak bisa ditolong lagi. Dia sekarat sekarang." 
Aku sudah akan membuka mulutku untuk mengatakan sesuatu, tetapi dokter itu langsung berkata lagi, "Kasihan kakek itu, dia orang besar, tetapi di hari tuanya ini dia dikucilkan, dan tidak ada yang mau merawatnya. Untung, saudara sebagai cucunya masih sudi menjenguknya. Saya berterima kasih sekali. Karena, asal saudara tahu, dia sekarang mengharapkan keluarganya datang. Tetapi tak ada satupun dari pihak keluarganya yang dapat dihubungi, mereka semua bersembunyi entah di mana, karena mereka tidak mau terkotori oleh dosa si kakek." 
Setelah berkata demikian si dokter mempersilahkan aku untuk masuk ke kamar si pasien yang kata dokter itu seorang kakek-kakek, kakekku katanya. 
Dalam kebingunganku, aku patuh melangkah masuk ke dalam kamar perawatan. Di sudut sebelah sana ada sebuah dipan beralas kain putih, di atasnya terbaring seorang lelaki tua yang merintih-rintih kesakitan. 
"Inilah kakek saudara yang sejak tadi meminta seseorang menemaninya. Sementara saya memiliki pekerjaan lain yang harus saya selesaikan, saya tak bisa menemaninya terus. Sedangkan perawat, tak ada satu pun yang mau menemaninya, karena mereka takut tertular oleh penyakit si kakek ini." 
Aku mengangguk pelan dan tersenyum. Setelah itu si dokter meninggalkan kami di dalam kamar perawatan. Kini tinggal aku dan dia. Aku tak mengenal dia, tetapi dari sorot matanya, dia sepertinya sudah lama mengenalku. Aku bingung. Apa sebenarnya yang sedang terjadi? 
Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara derap langkah yang sangat ramai. Aku pun tersadar, melihat domba-dombaku berlarian kalang kabut. Ada kuda menderap ke arah kawanan dombaku. Aku segera berdiri dan menghalau domba-dombaku agar tidak berpencar. Kutancapkan tongkat gembalaku di dekat pohon ek besar, domba-domba itu dengan patuh mereka berkumpul mengelilingi tongkatku. Sementara aku segera menghambur ke depan melihat si penunggang kuda yang kini sudah turun dari kudanya. Dia orang yang tak kukenal. Ada perlu apa sebenarnya datang mengunjungiku.
"Salam," orang itu berkata dengan sopan sambil mengangguk.
"Salam," jawabku sambil tersenyum. "Kisanak, ada apa gerangan sudi berhenti di sini?"
"Saya adalah utusan Maha Resi Swanda, beliau meminta saya menemui seorang penggembala yang pertama kali saya temukan dalam perjalanan saya."
"Kalau boleh, saya ingin mengenal siapa kisanak sebenarnya?" tanyaku memotong.
"Saya, Sudra, seorang pengembara yang mendapatkan tugas mulia."
Mendengar jawaban orang ini aku sama sekali tidak mengerti, "Dan apa keperluan saudara menemui saya?" tanyaku lagi.
"Untuk mendengarkan kesaksian terakhir."
"Kesaksian terakhir?" kataku pada diri sendiri.
"Dalam samadi, Maha Resi melihat seorang penggembala sedang duduk menyendiri memandang langit yang biru tua dan beliau dengan jelas melihat si gembala tersebut melompat-lompat di atas awan. Dan tak lama kemudian, Maha Resi melihat penggembala tersebut mengunjungi sebuah rumah sakit." Sudra diam sesaat menantikan tanggapanku, aku tetap diam.
Sudra kembali berkata, "Maha Resi kami mendapatkan tugas dari Hyang Widi untuk menyelamatkan seorang kakek tua yang sangat menderita di akhir hidupnya. Dan kakek itu kini berada di rumah sakit. Karena itu Maha Resi kami bersamadi untuk mendapatkan petunjuk. Hari ini beliau mendapatkan perintah untuk mencarikan seorang penggembala. Kata Maha Resi, Hyang Widi meminta seorang penggembala mendengarkan kesaksian terakhir dari si kakek yang sedang sakit itu. Saya diperintahkan oleh Maha Resi menjemput saudara."
"Bagaimana dengan domba-domba saya?" tanyaku polos.
"Untuk sementara biar saya yang menjaga domba-domba ini," jawab Sudra. "Silahkan bawa kuda ini, dia sudah terlatih untuk sampai ke padepokan Maha Resi Swanda."
Seperti ada kekuatan magis, aku tak dapat menolak kata-kata Sudra, kakiku langsung melangkah mendekati kuda. Padahal aku tahu aku tak pernah menunggang kuda sebelumnya. Tiba-tiba muncul rasa khawatir.
Seperti dapat membaca pikiranku, Sudra berkata, "Tidak perlu takut, Si Jagur akan menjaga saudara hingga sampai di padepokan."
Tanpa ragu lagi aku melompat ke atas pelana. Dalam satu hentakan si Jagur berlari membawaku ke padepokan Maha Resi Swanda.
Apakah ini mimpi? Atau cuma khayalanku?
Aku saat ini sedang melangkah di sebuah lorong rumah sakit, aroma yang tercium dalam khayalanku sama persis dengan aroma di lorong yang sedang kutapaki. Dan orang-orang itu, berseragam putih sama dengan apa yang terlihat dalam khayalanku. Dan pintu itu, dokter itu. Akhirnya aku kini berdiri di samping kakek yang sedang sakit.
Seperti dikatakan oleh Maha Resi kepadaku, aku akan menemui seseorang yang dalam hidupnya pernah menjadi orang besar dan sangat dihormati dan ditakuti. Dia adalah mantan penguasa yang hidupnya kaya raya, dan anak-anaknya dibesarkan dalam pelukan kasih sayang yang tak terhingga. Apa pun telah dikorbankan oleh kakek ini demi kenyamanan hidup anak-anaknya. Tetapi kini saat usianya mendekati ajal, tak satu pun dari anak-anaknya yang datang menjenguknya. Dia ditinggalkan oleh mereka yang pernah disayangi olehnya. Menderita di akhir hidupnya, itulah kata yang tepat untuk kakek ini.
Mata si kakek yang menatapku seakan mengucapkan terima kasih kepadaku, karena aku mau mengunjunginya. Aku hanya menatapnya, tetapi hatiku mendengar kata-kata sang kakek yang ada di hadapanku itu. Dengan tulus si kakek menyampaikan kesaksian terakhirnya kepadaku. Bukan melalui bibir yang dapat saja berkata dusta, bukan pula melalui surat yang ditulis tangannya yang mungkin saja bisa berbohong. Dia mengatakan kesaksian terakhirnya itu dengan tatapan matanya ke dalam mataku, dan mencatatkan kesaksiannya ke dalam hatiku.
"Nak, Kakek tahu kau bingung. Betapa bingungnya engkau kini berada di samping kakek. Engkau tak mengenal kakek, tetapi harus menemani kakek di saat kakek sekarat. Karena itu kakek mohon maaf dan mohon pengertian darimu, nak.
"Hampir setengah abad kakek menjadi orang yang dihormati dan disegani, dan kakek adalah satu-satunya orang yang dianggap layak menjadi pemimpin dari dua ratus juta jiwa lebih di sebuah negeri yang kaya raya. Dan kakek mau menerima itu semua karena kakek tahu dengan begitu kakek akan menjadi orang terkaya di dunia. Benar adanya, tak lama kemudian kakek memiliki kekayaan tak terhingga, negeri yang kakek pimpin stabil, jalan-jalan aspal dibuat, mobil-mobil mewah didatangkan, pasar-pasar dan rumah sakit dibangun, demikian juga dengan rumah-rumah megah yang dibangun di mana-mana. Anak-anak kakek hidup nyaman, sanak saudara kakek berada dalam limpahan kekayaan yang tak terhingga. Semua orang menghormati keluarga kakek, karena kami orang-orang kaya, banyak uang dan memiliki kehormatan. Begitulah."
"Hingga pada suatu hari, sekelompok orang berkumpul dan bersatu mengorek keburukan kakek. Kejelekan kakek dipamerkan di mana-mana. Semua orang tahu semua keburukan kakek hingga mereka lupa pada kebaikan yang pernah kakek lakukan untuk mereka. Semua orang yang tadinya menghormati kakek, kini dengan berani menginjak kepala kakek. Kata-kata menyakitkan dilontarkan untuk kakek, sumpah serapah kejam ditujukan kepada kakek. Benar-benar sebuah siksaan yang pahit bagi kakek di akhir hidup kakek ini."
Sang kakek memejamkan matanya. Hatiku pun tak lagi mendengar kata-katanya.
Tak lama kemudian kakek itu kembali membuka matanya dan menatapku dengan lembut. Hatiku mendengar lagi dia berkata, "Nak, tak lama lagi kakek akan meninggalkan dunia fana ini. Kakek ingin menyampaikan pesan terakhir kakek kepada seluruh rakyat yang pernah menghormati kakek dan kini membenci kakek. Nak, katakan pada mereka... Apa yang kakek lakukan semuanya adalah untuk kebahagiaan mereka juga. Kakek tahu, sekarang mereka menderita. Memang mereka telah lepas dari cengkeraman kakek, tetapi kini mereka jatuh ke cengkraman tangan yang lain yang bisa jadi lebih tajam kuku-kukunya dari kakek...."
Setelah mengatakan itu, mata sang kakek tetap menatapku tetapi tak ada lagi kata-kata yang terdengar oleh hatiku. Mata itu menatap kosong seperti mayat. Aku segera menyentuhnya, wajahnya kuusap, dan mata itu pun terpejam. Dia meninggal. (*)
Desember 2001

No comments:

Post a Comment