Kumpulan Cerpen Lelaki dan rembulan mengisahkan banyak hal yang terjadi dalam pergolakan politik kebangsaan mau pun pencarian identitas seorang remaja yang tersesat dalam rimba informasi yang bergelegak dalam arus internet yang jungkir balik. Silahkan pesan di 08174104111
Berikut ini salah satu cerpen yang termuat dalam buku tersebut:
"Kesaksian Terakhir
MATAHARI sudah
beranjak dari puncaknya, panas pun sudah tak menyengat lagi. Di padang luas
rumput ilalang yang terbentang, aku duduk sendirian mengawasi kawanan dombaku
yang sedang merumput, setelah mereka istirahat di bawah pohon karena panasnya
sengatan matahari. Domba-domba itu kini dengan tenang merumput kembali di bawah
sinar matahari yang meredup karena senja akan segera tiba.
Sementara aku
mengawasi mereka, aku pun menatap langit yang biru tua dihiasi
gumpalan-gumpalan awan putih. Khayalanku terbang jauh, melompat-lompat di
antara bukit-bukit awan di atas langit. Hembusan angin sepoi sore membuatku
semakin terlena dalam khayalanku.
Sesaat kemudian
kesadaranku ada jauh di tempat yang tak pernah aku kunjungi sebelumnya. Aku
sepertinya berada di sebuah rumah sakit, sangat jelas tercium aroma karbol dan
anti septik di semua lorong yang aku lewati dan orang-orang berseragam putih
berlalu lalang di sana. Aku terus berjalan tanpa tahu kemana tujuanku. Tetapi
tiba-tiba kakiku berhenti melangkah tepat di depan sebuah pintu. Pintu itu
memiliki nomor yang tidak aku mengerti dan beberapa hurup yang tidak aku pahami
maksudnya. Aku menatap pintu itu lekat-lekat dan telingaku terusik oleh suara
yang datang dari balik pintu itu, suara erangan yang aneh.
Mataku masih
menatap pintu itu dan telingaku semakin tajam mendengarkan sesuatu yang terjadi
di balik pintu tersebut. Ada langkah kaki yang diseret, ada kata-kata samar
terucap, ada rintihan, dan ada keluh kesah. Pasti di dalam sana ada seorang
yang sedang dirawat, pikirku. Tapi siapa?
Sementara aku
masih berdiri mematung di depan pintu, terdengar suara klik pelan dan pintu itu
pun terbuka. Seorang lelaki berseragam putih keluar menenteng sebuah catatan di
tangan kirinya, sementara tangan kanannya mengelap dahinya yang berkeringat.
Sepertinya dokter ini cukup lelah menghadapi pasiennya. Lelaki itu serta-merta
mendekatiku dan berkata, "Anda cucunya, bukan?" aku belum sempat
menjawab, sang dokter menarik tanganku ke sisi lorong menuju sebuah bangku
kosong. Dia mendudukkan aku, sambil menggenggam tanganku dengan erat dia
berkata lagi, "Kakek saudara sepertinya tak bisa ditolong lagi. Dia
sekarat sekarang."
Aku sudah akan
membuka mulutku untuk mengatakan sesuatu, tetapi dokter itu langsung berkata
lagi, "Kasihan kakek itu, dia orang besar, tetapi di hari tuanya ini dia
dikucilkan, dan tidak ada yang mau merawatnya. Untung, saudara sebagai cucunya
masih sudi menjenguknya. Saya berterima kasih sekali. Karena, asal saudara
tahu, dia sekarang mengharapkan keluarganya datang. Tetapi tak ada satupun dari
pihak keluarganya yang dapat dihubungi, mereka semua bersembunyi entah di mana,
karena mereka tidak mau terkotori oleh dosa si kakek."
Setelah berkata
demikian si dokter mempersilahkan aku untuk masuk ke kamar si pasien yang kata
dokter itu seorang kakek-kakek, kakekku katanya.
Dalam
kebingunganku, aku patuh melangkah masuk ke dalam kamar perawatan. Di sudut
sebelah sana ada sebuah dipan beralas kain putih, di atasnya terbaring seorang
lelaki tua yang merintih-rintih kesakitan.
"Inilah kakek
saudara yang sejak tadi meminta seseorang menemaninya. Sementara saya memiliki
pekerjaan lain yang harus saya selesaikan, saya tak bisa menemaninya terus.
Sedangkan perawat, tak ada satu pun yang mau menemaninya, karena mereka takut
tertular oleh penyakit si kakek ini."
Aku mengangguk pelan
dan tersenyum. Setelah itu si dokter meninggalkan kami di dalam kamar
perawatan. Kini tinggal aku dan dia. Aku tak mengenal dia, tetapi dari sorot
matanya, dia sepertinya sudah lama mengenalku. Aku bingung. Apa sebenarnya yang
sedang terjadi?
Tiba-tiba aku
dikejutkan oleh suara derap langkah yang sangat ramai. Aku pun tersadar,
melihat domba-dombaku berlarian kalang kabut. Ada kuda menderap ke arah kawanan
dombaku. Aku segera berdiri dan menghalau domba-dombaku agar tidak berpencar.
Kutancapkan tongkat gembalaku di dekat pohon ek besar, domba-domba itu dengan
patuh mereka berkumpul mengelilingi tongkatku. Sementara aku segera menghambur
ke depan melihat si penunggang kuda yang kini sudah turun dari kudanya. Dia
orang yang tak kukenal. Ada perlu apa sebenarnya datang mengunjungiku.
"Salam,"
orang itu berkata dengan sopan sambil mengangguk.
"Salam,"
jawabku sambil tersenyum. "Kisanak, ada apa gerangan sudi berhenti di
sini?"
"Saya adalah
utusan Maha Resi Swanda, beliau meminta saya menemui seorang penggembala yang
pertama kali saya temukan dalam perjalanan saya."
"Kalau boleh,
saya ingin mengenal siapa kisanak sebenarnya?" tanyaku memotong.
"Saya, Sudra,
seorang pengembara yang mendapatkan tugas mulia."
Mendengar jawaban
orang ini aku sama sekali tidak mengerti, "Dan apa keperluan saudara
menemui saya?" tanyaku lagi.
"Untuk
mendengarkan kesaksian terakhir."
"Kesaksian
terakhir?" kataku pada diri sendiri.
"Dalam
samadi, Maha Resi melihat seorang penggembala sedang duduk menyendiri memandang
langit yang biru tua dan beliau dengan jelas melihat si gembala tersebut
melompat-lompat di atas awan. Dan tak lama kemudian, Maha Resi melihat
penggembala tersebut mengunjungi sebuah rumah sakit." Sudra diam sesaat
menantikan tanggapanku, aku tetap diam.
Sudra kembali
berkata, "Maha Resi kami mendapatkan tugas dari Hyang Widi untuk
menyelamatkan seorang kakek tua yang sangat menderita di akhir hidupnya. Dan
kakek itu kini berada di rumah sakit. Karena itu Maha Resi kami bersamadi untuk
mendapatkan petunjuk. Hari ini beliau mendapatkan perintah untuk mencarikan
seorang penggembala. Kata Maha Resi, Hyang Widi meminta seorang penggembala
mendengarkan kesaksian terakhir dari si kakek yang sedang sakit itu. Saya
diperintahkan oleh Maha Resi menjemput saudara."
"Bagaimana
dengan domba-domba saya?" tanyaku polos.
"Untuk
sementara biar saya yang menjaga domba-domba ini," jawab Sudra.
"Silahkan bawa kuda ini, dia sudah terlatih untuk sampai ke padepokan Maha
Resi Swanda."
Seperti ada
kekuatan magis, aku tak dapat menolak kata-kata Sudra, kakiku langsung
melangkah mendekati kuda. Padahal aku tahu aku tak pernah menunggang kuda
sebelumnya. Tiba-tiba muncul rasa khawatir.
Seperti dapat
membaca pikiranku, Sudra berkata, "Tidak perlu takut, Si Jagur akan
menjaga saudara hingga sampai di padepokan."
Tanpa ragu lagi
aku melompat ke atas pelana. Dalam satu hentakan si Jagur berlari membawaku ke
padepokan Maha Resi Swanda.
Apakah ini mimpi?
Atau cuma khayalanku?
Aku saat ini
sedang melangkah di sebuah lorong rumah sakit, aroma yang tercium dalam
khayalanku sama persis dengan aroma di lorong yang sedang kutapaki. Dan
orang-orang itu, berseragam putih sama dengan apa yang terlihat dalam
khayalanku. Dan pintu itu, dokter itu. Akhirnya aku kini berdiri di samping
kakek yang sedang sakit.
Seperti dikatakan
oleh Maha Resi kepadaku, aku akan menemui seseorang yang dalam hidupnya pernah
menjadi orang besar dan sangat dihormati dan ditakuti. Dia adalah mantan
penguasa yang hidupnya kaya raya, dan anak-anaknya dibesarkan dalam pelukan
kasih sayang yang tak terhingga. Apa pun telah dikorbankan oleh kakek ini demi
kenyamanan hidup anak-anaknya. Tetapi kini saat usianya mendekati ajal, tak
satu pun dari anak-anaknya yang datang menjenguknya. Dia ditinggalkan oleh
mereka yang pernah disayangi olehnya. Menderita di akhir hidupnya, itulah kata
yang tepat untuk kakek ini.
Mata si kakek yang
menatapku seakan mengucapkan terima kasih kepadaku, karena aku mau
mengunjunginya. Aku hanya menatapnya, tetapi hatiku mendengar kata-kata sang
kakek yang ada di hadapanku itu. Dengan tulus si kakek menyampaikan kesaksian
terakhirnya kepadaku. Bukan melalui bibir yang dapat saja berkata dusta, bukan
pula melalui surat yang ditulis tangannya yang mungkin saja bisa berbohong. Dia
mengatakan kesaksian terakhirnya itu dengan tatapan matanya ke dalam mataku,
dan mencatatkan kesaksiannya ke dalam hatiku.
"Nak, Kakek
tahu kau bingung. Betapa bingungnya engkau kini berada di samping kakek. Engkau
tak mengenal kakek, tetapi harus menemani kakek di saat kakek sekarat. Karena
itu kakek mohon maaf dan mohon pengertian darimu, nak.
"Hampir
setengah abad kakek menjadi orang yang dihormati dan disegani, dan kakek adalah
satu-satunya orang yang dianggap layak menjadi pemimpin dari dua ratus juta
jiwa lebih di sebuah negeri yang kaya raya. Dan kakek mau menerima itu semua
karena kakek tahu dengan begitu kakek akan menjadi orang terkaya di dunia.
Benar adanya, tak lama kemudian kakek memiliki kekayaan tak terhingga, negeri
yang kakek pimpin stabil, jalan-jalan aspal dibuat, mobil-mobil mewah
didatangkan, pasar-pasar dan rumah sakit dibangun, demikian juga dengan
rumah-rumah megah yang dibangun di mana-mana. Anak-anak kakek hidup nyaman,
sanak saudara kakek berada dalam limpahan kekayaan yang tak terhingga. Semua
orang menghormati keluarga kakek, karena kami orang-orang kaya, banyak uang dan
memiliki kehormatan. Begitulah."
"Hingga pada
suatu hari, sekelompok orang berkumpul dan bersatu mengorek keburukan kakek.
Kejelekan kakek dipamerkan di mana-mana. Semua orang tahu semua keburukan kakek
hingga mereka lupa pada kebaikan yang pernah kakek lakukan untuk mereka. Semua
orang yang tadinya menghormati kakek, kini dengan berani menginjak kepala
kakek. Kata-kata menyakitkan dilontarkan untuk kakek, sumpah serapah kejam
ditujukan kepada kakek. Benar-benar sebuah siksaan yang pahit bagi kakek di
akhir hidup kakek ini."
Sang kakek
memejamkan matanya. Hatiku pun tak lagi mendengar kata-katanya.
Tak lama kemudian
kakek itu kembali membuka matanya dan menatapku dengan lembut. Hatiku mendengar
lagi dia berkata, "Nak, tak lama lagi kakek akan meninggalkan dunia fana
ini. Kakek ingin menyampaikan pesan terakhir kakek kepada seluruh rakyat yang
pernah menghormati kakek dan kini membenci kakek. Nak, katakan pada mereka...
Apa yang kakek lakukan semuanya adalah untuk kebahagiaan mereka juga. Kakek
tahu, sekarang mereka menderita. Memang mereka telah lepas dari cengkeraman
kakek, tetapi kini mereka jatuh ke cengkraman tangan yang lain yang bisa jadi
lebih tajam kuku-kukunya dari kakek...."
Setelah mengatakan
itu, mata sang kakek tetap menatapku tetapi tak ada lagi kata-kata yang
terdengar oleh hatiku. Mata itu menatap kosong seperti mayat. Aku segera
menyentuhnya, wajahnya kuusap, dan mata itu pun terpejam. Dia meninggal. (*)
Desember 2001
No comments:
Post a Comment