Tuesday, December 24, 2013

Cover Novel Domino

Novel Domino Karya Tanalyna Hasna adalah novel yang unik dan asyik sebagai bacaan remaja dewasa yang mengingatkan pembaca ke masa-masa di sekolah dahulu. Berikut ini bab pertama dari novel tersebut:
1
“Kita perlu buat target nggak?” Rizal bergumam.
Mia menyesap minumannya pelan, setengah memandang ke luar. Sementara Rizal membelokkan mobilnya ke kanan.

If you’re not the one then why does my soul feel glad, today
If you’re not the one then why does my hand fit yours, this way
If you are not mine then why does your heart return, my call
If you are not mine would I have the strength to stand, at all

I never know what the future brings
But I know you’re here with me now
We’ll make it through
And I hope you are the one I share my life with

Daniel Bedingfield melantunkan If You’re Not The One dari CD-player. Mia membesarkan sedikit volume-nya kemudian me-lirik ke sebelah kanan. Tepat pada saat itulah ia mendapati Rizal tengah serius mengemudi. “Mm… Target?” Tanya Mia.
Mata Rizal tidak berkedip memandang jalan yang berkabut tebal. “Iya, target. Sesuatu yang ingin kita capai.”
Mia mengernyitkan dahi. “Mm… Tapi sekarang kan bukan malam tahun baru.”
“Target bisa dibuat kapan aja kan?” Rizal menggerakkan stirnya sedikit ke kiri.
Mia tersenyum, mengangguk tiga kali menyetujui statemen Rizal, lalu meletakkan cup hot chocolate-nya yang sudah kosong di atas dasbor. “Target untuk tahun depan?”
Rizal tidak menjawab langsung. Lalu, “Target untuk lima tahun ke depan,” katanya, kemudian, “Targetku lima tahun ke depan adalah aku ingin bekerja di Jogja,” Rizal menekan remnya sedikit ketika ada gundukan polisi tidur. “Alasannya sederhana, aku suka kota itu, dan aku ingin hidup di kota itu.”
Mia memiringkan kepala sedikit. “Mm.... ya, aku juga suka Jogja.” Mia terdiam kemudian, ia masih belum menemukan apa targetnya. ”Aku nggak punya target, eh maksudku... aku belum punya ide bakal punya target seperti apa.”
Hening beberapa saat.
Setelah beberapa meter melaju, Rizal menoleh kiri dan melihat gadis di sebelahnya mematung. “Pastikan saja kita ketemu di Jogja, lima tahun lagi.”
Senyum Mia mengembang. Ini bukan suatu kemenangan, tapi ini tawaran yang menyenangkan. “Deal!” Mia meringis kemudian. “Lihat aja, lima tahun lagi aku bakal jadi bos kamu di Jogja.”
Rizal menganga. “Apa? Bos?! Bos apa?”
Mia menahan tawa. “Kita bekerja di perusahaan yang sama, tapi aku yang jadi bos, kamu jadi karyawanku, hahaha.”
“Enak aja! Mana bisa begitu?” Rizal menyahut cepat, protes. “Aku dua tahun lebih tua dari kamu, aku lebih cepat lulus kuliah, aku sudah ambil skripsi sementara kamu baru semester empat, weekkk,” ledeknya.
***
“Dia benar-benar seperti yang kuinginkan, Nadia.”
Mia menyesap teh hangatnya sambil tersenyum. Ia sudah mengulang-ulang kalimat itu setidaknya tujuh kali sejak Rizal meninggalkan mereka berdua di kantin keesokan harinya.
“Rizal benar-benar tipeku,” ujar Mia sambil mengambil pisang goreng. “Aku suka semua tentang Rizal. Period.. Hehehe.”
“Kamu harus ingat kata-katamu itu di waktu-waktu yang tidak bersahabat,” celutuk Nadia ikut mengambil gorengan. “Eh, kalian belum jadian juga sampai sekarang?”
Tepat saat itu terdengar suara gedubrakan dari arah samping. Keduanya menoleh. Sesosok laki-laki dengan tas laptop warna hitam setengah berlari ke arah mereka. “Makannn! Lapar aku nih!!” Ryan membanting tasnya dengan serabutan. Setelah sukses duduk dengan brutal, ia melambaikan tangan kepada salah satu karyawan kantin, “Mbak! Soto ayam, duaaa!”
Mia dan Nadia menggeleng-gelengkan kepala. “Ryan, calm!” gerutu Mia sebentar. Kepalanya kemudian miring menghadap Nadia. “Eh kamu tadi tanya apa, Nad?”
Nadia mengerjap. “Udah resmi belum sama Rizal?”
“Rizal?!” Ryan ikut nimbrung. “Ohya, kalian gimana tuh berdua? Belum resmi juga?”
Mia menyadari lirikan tajam dilemparkan Ryan dan Nadia ke arahnya, tapi ia pura-pura tidak peduli. Ia tahu persis apa yang ditanyakan sahabatnya itu, tetapi ia tidak tahu bagaimana menjawabnya, bagaimana menjelaskannya.
“Belom,” sahut Mia enteng.
Nadia mendongak lagi menatap Mia. “Jadi, dibiarkan tanpa status?”
“Yah, mungkin sementara ini, begini jadi lebih baik,” kata Mia sambil melemparkan senyum.
People fall in love not knowing why or how sih ya? Ya udah lah, mungkin jalannya emang begitu. Hidup ini kan penuh misteri, kalau tidak kita jalani ya mana kita akan tahu itu salah atau benar, itu baik atau tidak,” Ryan berpendapat lumayan masuk akal. “Sebagai teman, aku dukung kamu sepenuhnya. Apapun itu, yang penting kamu nyaman.”
Waa Ryan kata-katamu bijak sekali,” Mia dan Nadia sama-sama menatap Ryan dengan mata berkilat-kilat memuji.
***
Hari Minggu. Mia baru saja membuka mata. Setelah straching sebentar di atas kasur, ia beranjak ke jendela dan membuka tirai. Dari kamarnya di lantai dua, Mia bisa melihat jalan di depannya masih sepi lalu-lalang kendaraan. Mia tersenyum, menikmati angin sepoi-sepoi menggerakkan ranting pohon mangga di pekarangan rumah. Adegan melankolis memang, tapi udara pagi benar-benar menghipnotisnya memejamkan mata dan membiarkan angin pagi menusuki rusuk.
Hhmm sejuknya pagi ini, sempurna untuk mengawali hari.
Pletak!
Sebuah kerikil dilempar mengenai jendela Mia. Terkaget-kaget Mia membuka mata mencari sumber suara. Di bawah, tepat di jalan depan rumah, sesosok laki-laki berkaos putih melambaikan tangan. Ryan, tetangga yang otomatis terdaulat menjadi teman Mia sejak mereka bayi, tersenyum tengil mengangkat batu sebesar panci berlagak seolah-olah akan dilemparnya kepada Mia.
Mia melotot dan mengangkat genggaman tangannya. “Kalo gentlemen, sini adu jotos! Jangan cuma berani ngelempar batu!”
Ryan terkekeh dan meletakkan batu itu ke tempat semula. “Galak amat, Neng!” Ryan kemudian terbahak. “Lari yuk!” ajak Ryan mengedipkan mata kirinya. Ryan terlihat sangat casual dengan kaos putih, celana pendek warna biru tua, sepatu olah raga warna putih lusuh, dan handuk good morning bertengger di lehernya.
Sepuluh menit kemudian, Mia sudah bersama Ryan ber-jogging mengelilingi perumahan mereka. Setelah dua kali putaran, kaki mereka berteriak minta istirahat.
“Capeknyaaaaa,” keluh Mia mengusap wajah yang berkeringat dengan handuk kecil.
“Bagus dong, itu namanya sehat,” sahut Ryan duduk meluruskan kaki, “Kata orang, health is not everything, but without health everything is nothing.
“Yaaaapp itu bener banget, seratooosss!” Mia berteriak menyetujui, mengacungkan jempol kirinya.
“Tumben kamu semangat jogging, biasanya setengah putaran minta berhenti,” ujar Ryan meledek, “Pasti semalam habis diapelin deh, trus dibilang gendutan, jadi sekarang niat banget olahraga biar kurus.”
“Yee sok tau!” Mia menonjok lengan Ryan. “Lagian siapaaa juga yang ngapelin.”
Ryan terbahak. “Yee curhat… Hahaha… Ya Rizal lah!
Giliran Mia terbahak. “Enggak lah… Rizal semalam di perpustakaan kok.”
“Gebetan kamu rajin banget malam minggu ke perpustakaan?”
Mia menonjok lagi lengan Ryan hingga mengaduh. “Rizal kan sibuk nyelesaiin skripsi, wajar dong kalo tongkrongannya pindah ke perpus.”
“Kamu ini cari gebetan kok yang semester tua, ditinggalin melulu kan jadinya? Hahaha kasihan deh temenku ini…,” Ryan ngakak sambil mengacak rambut Mia yang basah berkeringat. Setelah lelah tertawa, Ryan beranjak dari duduk dan bersiap pergi.
Mia mendongak. “Ke mana?”
“Ya pulang ke rumah lah dong yaaa. Baru ngomongin Rizal bentar aja udah mencong-mencong kan otaknya, bener-bener deh cinta bikin saraf otak terganggu hahaha,” jawab Ryan sambil berlari kecil.
Setelah berjalan seratus meter, sampailah di depan rumah Mia. “Aku duluan ya, Yan,” Mia membuka pintu pagar.
Ryan mengerling. “Jam sepuluh aku mau nemenin Nadia ke Kampung Roti, mau join?”
“Mau dong mau dong mau dong!!” girang Mia. “Aku mau muffin-nya Kampung Roti, mau pisang caramelnya juga, hhhmm lezatoss!!”
“Iya udah sana buruan mandi, kagak pakai lama! Aku jemput, harus udah siap. Kalo belom siap, aku tinggal,” ancam Ryan.
Mia bergegas masuk ke dalam rumah. Setibanya di kamar, ia mendapati lampu merah di atas tubuh BlackBerry-nya berwarna merah dan berkedap-kedip. Ia mendapatkan lima misscalled, satu dari Nadia dan empat misscalled dari Rizal. Serta ada dua pesan BlackBerry Messanger dari Nadia dan juga Rizal.

# Nadia_Maharani
Sayooongku Miaaa, aq mau ke kampung roti ni sama Ryan.
Ikutan yuukk, ngidam donatnya nihh..
Kamu mau juga kan?
Halooo Mi?!
PING!!
Lama amat balesnya, masih tidur nih pasti :(

# Rizal
PING!!
Aq tlp gak bangun juga?
Klo udh bangun, miskol ya.
PING!!
PING!!
Ya ampun gak kebangun ya?
Dasar kebooo haha.
Miskol ya kalau udah bangun :)

Hwaaa!! Mia jumpalitan mendapati BBM dan misscall dari Rizal bertubi-tubi. Setelah membalas BBM Nadia, Mia me-misscall Rizal dengan hati berdebar.
Do you ever think when you're all alone
All that we can be, where this thing can go?
Am I crazy or falling in love?
Is it really just another crush?
Crush mengalun dari ponsel Mia beberapa detik kemudian. Rizal calling.
“Halo, Mi?”
“Ya.”
“Lama banget angkat telponnya, baru bangun?”
Mia merona. “Udah bangun dari tadi sih, habis jogging nih sama Ryan.”
“Pantes ngos-ngosan suaranya.”
“Hahahaaa bisa aja, barusan sampe rumah ini. Kamu baru apa, Zal?”
“Baru istirahat aja, ngilangin capek.”
“Habis futsal?”
“Iya, main futsal abal-abal sama sodara-sodara sepupu,” lanjut Rizal, ”Eh, hari Minggu begini rencana mau pergi ke mana kamu, Mi?”
Jangan ajak pergi hari ini, please… Aku ada janji sama Ryan dan Nadia nih.
“Nggak ke mana-mana sih kayaknya, di rumah aja. Kenapa?”
 Ajakin aku jalan hari ini nggak masalah sih sebenarnya, pergi ke Kampung Roti masih bisa kapan-kapan kok.
Rizal tertawa kecil sebentar. “Cari kerjaan kek, ngapain kek, bersihin rumah kek, benerin genteng kek, daripada Minggu-Minggu tidur mulu nanti kamu gendutan lho hahahaa.”
“Yee ogah lah naik-naik genteng. Emangnya kamu mau ke mana, Zal?”
“Mau ke rumah Pak Mahfud, mau konsultasi,” jawab Rizal tidak memenuhi harapan Mia.
Yaaahhhh kecewa berat. “Waa skripsi udah selesai, Zal?”
“Belom, Mi. Makanya mau sharing sama beliau.”
“Sip, mudah-mudahan buruan selesai skripsinya, buruan kerja, hahahaaa….”
“Dan buruan ngelamar kamu ya, Mi? Hahahahaa….”
Mia menjerit tak bersuara. Tubuhnya kini berguling-guling di kasur. Kalimat Rizal menembus alam bawah sadarnya. Membuatnya benar-benar terjerembab dalam cinta. Love can drives you crazy.
“Hehehe…,” cuma kata ini yang bisa keluar dari mulut Mia, walau sesungguhnya dalam hati ia mengamini kalimat Rizal berkali-kali.
“Ya udah gih buruan mandi, baunya sampai sini, bau kambing.”
“Hahaha iyaaa aku mandi sekarang.”
“Oke, have a great day, Mi.”
You too, Zal.”
-klik-
Mia melempar ponselnya sembarangan. Senyumnya merekah. Benar-benar sedang dibuai asmara. Mia menghentikan perilaku konyolnya ketika kemudian nama Nadia muncul di layar ponselnya. “Haaalllaaaaawwwwww Nadiaaaaaaa!!!”
“Buset! Aduh! Sadis banget teriakannya!”
“Ahhh maca ciiiiiiyy??” Mia beranjak dari tempat tidurnya, berjalan menuju cermin.
“Lebay deh…,” gerutu Nadia. “Ohhh habis telponan sama Rizal nih pasti?”
Mia melihat wajahnya di cermin. Merah total. Tersipu-sipu. Hatinya melayang-layang. “Iyaaa doongg, kamu pintar deh bisa nebak hahahaa….”
I know you well, darling Mia. Jadi ikut ke Kampung Roti?”
“Jaadiiiii donggggss,” sahut Mia lebay.
“Miaa! Ngomongnya biasa aja dong jangan ganjen-ganjen, risih tau!” Protes Nadia.
Mia terbahak. “Hahahaha ya udahhh maapp yaaa namanya juga lagi bahagiaaa.”
“Iyaaaa tauuu yang lagi kesambet cinta. Udah, buruan mandi!!”
***
lebih lengkap bisa dibeli di www.cetakbuku.net

No comments:

Post a Comment