Novel Domino Karya Tanalyna Hasna adalah novel yang unik dan asyik sebagai bacaan remaja dewasa yang mengingatkan pembaca ke masa-masa di sekolah dahulu. Berikut ini bab pertama dari novel tersebut:
1
“Kita perlu buat target nggak?” Rizal bergumam.
Mia menyesap minumannya pelan, setengah memandang
ke luar. Sementara Rizal membelokkan mobilnya ke kanan.
If you’re not the one then why does my soul feel glad,
today
If you’re not the one then why does my hand fit yours, this
way
If you are not mine then why does your heart return, my
call
If you are not mine would I have the strength to stand, at
all
I never know what the future brings
But I know you’re here with me now
We’ll make it through
And I hope you are the one I share my life with
Daniel
Bedingfield melantunkan If You’re Not The
One dari CD-player. Mia
membesarkan sedikit volume-nya kemudian
me-lirik ke sebelah kanan. Tepat pada saat itulah ia mendapati Rizal tengah
serius mengemudi. “Mm… Target?” Tanya Mia.
Mata Rizal tidak berkedip memandang jalan yang berkabut tebal.
“Iya, target. Sesuatu yang ingin kita capai.”
Mia mengernyitkan dahi. “Mm… Tapi
sekarang kan bukan malam tahun baru.”
“Target bisa dibuat kapan aja kan?” Rizal
menggerakkan stirnya sedikit ke kiri.
Mia tersenyum, mengangguk tiga kali
menyetujui statemen Rizal, lalu meletakkan cup
hot chocolate-nya yang sudah kosong di atas dasbor. “Target untuk tahun
depan?”
Rizal tidak menjawab langsung. Lalu,
“Target untuk lima tahun ke depan,” katanya, kemudian, “Targetku lima tahun ke
depan adalah aku ingin bekerja di Jogja,” Rizal menekan remnya sedikit ketika
ada gundukan polisi tidur. “Alasannya sederhana, aku suka kota itu, dan
aku ingin hidup di kota itu.”
Mia memiringkan kepala sedikit. “Mm.... ya,
aku juga suka Jogja.” Mia terdiam kemudian, ia masih belum menemukan apa
targetnya. ”Aku nggak punya target, eh maksudku... aku belum punya ide bakal
punya target seperti apa.”
Hening beberapa saat.
Setelah beberapa meter melaju, Rizal
menoleh kiri dan melihat gadis di sebelahnya mematung. “Pastikan saja kita
ketemu di Jogja, lima tahun lagi.”
Senyum Mia mengembang. Ini bukan suatu
kemenangan, tapi ini tawaran yang menyenangkan. “Deal!” Mia meringis
kemudian. “Lihat aja, lima tahun lagi aku bakal jadi bos kamu di Jogja.”
Rizal menganga. “Apa? Bos?! Bos apa?”
Mia menahan tawa. “Kita bekerja di
perusahaan yang sama, tapi aku yang jadi bos, kamu jadi karyawanku, hahaha.”
“Enak aja! Mana bisa begitu?” Rizal
menyahut cepat, protes. “Aku dua tahun lebih tua dari kamu, aku lebih cepat
lulus kuliah, aku sudah ambil skripsi sementara kamu baru semester empat,
weekkk,” ledeknya.
***
“Dia benar-benar seperti yang kuinginkan,
Nadia.”
Mia menyesap teh hangatnya sambil
tersenyum. Ia sudah mengulang-ulang kalimat itu setidaknya tujuh kali sejak
Rizal meninggalkan mereka berdua di kantin keesokan harinya.
“Rizal benar-benar tipeku,” ujar Mia sambil
mengambil pisang goreng. “Aku suka semua tentang Rizal. Period.. Hehehe.”
“Kamu harus ingat kata-katamu itu di
waktu-waktu yang tidak bersahabat,” celutuk Nadia ikut mengambil gorengan. “Eh,
kalian belum jadian juga sampai sekarang?”
Tepat saat itu terdengar suara gedubrakan
dari arah samping. Keduanya menoleh. Sesosok laki-laki dengan tas laptop warna
hitam setengah berlari ke arah mereka. “Makannn! Lapar aku nih!!” Ryan
membanting tasnya dengan serabutan. Setelah sukses duduk dengan brutal, ia
melambaikan tangan kepada salah satu karyawan kantin, “Mbak! Soto ayam, duaaa!”
Mia dan Nadia menggeleng-gelengkan kepala. “Ryan,
calm!” gerutu Mia sebentar. Kepalanya
kemudian miring menghadap Nadia. “Eh kamu tadi tanya apa, Nad?”
Nadia mengerjap. “Udah resmi belum sama
Rizal?”
“Rizal?!” Ryan ikut nimbrung. “Ohya, kalian
gimana tuh berdua? Belum resmi juga?”
Mia menyadari lirikan tajam dilemparkan
Ryan dan Nadia ke arahnya, tapi ia pura-pura tidak peduli. Ia tahu persis apa
yang ditanyakan sahabatnya itu, tetapi ia tidak tahu bagaimana menjawabnya,
bagaimana menjelaskannya.
“Belom,” sahut Mia enteng.
Nadia mendongak lagi menatap Mia. “Jadi,
dibiarkan tanpa status?”
“Yah, mungkin sementara ini, begini jadi
lebih baik,” kata Mia sambil melemparkan senyum.
“People fall in love not knowing
why or how sih ya? Ya udah lah, mungkin jalannya emang begitu.
Hidup ini kan penuh misteri, kalau tidak kita jalani ya mana kita akan tahu itu
salah atau benar, itu baik atau tidak,” Ryan berpendapat lumayan masuk akal.
“Sebagai teman, aku dukung kamu sepenuhnya. Apapun itu, yang penting kamu
nyaman.”
“Waa Ryan
kata-katamu bijak sekali,” Mia dan Nadia sama-sama menatap Ryan dengan mata
berkilat-kilat memuji.
***
Hari Minggu. Mia baru saja membuka mata.
Setelah straching sebentar di atas kasur,
ia beranjak ke jendela dan membuka tirai. Dari kamarnya di lantai dua, Mia bisa
melihat jalan di depannya masih sepi lalu-lalang kendaraan. Mia tersenyum,
menikmati angin sepoi-sepoi menggerakkan ranting pohon mangga di pekarangan
rumah. Adegan melankolis memang, tapi udara pagi benar-benar menghipnotisnya
memejamkan mata dan membiarkan angin pagi menusuki rusuk.
Hhmm sejuknya pagi ini, sempurna untuk mengawali hari.
Pletak!
Sebuah kerikil dilempar mengenai jendela
Mia. Terkaget-kaget Mia membuka mata mencari sumber suara. Di bawah, tepat di
jalan depan rumah, sesosok laki-laki berkaos putih melambaikan tangan. Ryan,
tetangga yang otomatis terdaulat menjadi teman Mia sejak mereka bayi, tersenyum
tengil mengangkat batu sebesar panci berlagak seolah-olah akan dilemparnya
kepada Mia.
Mia melotot dan mengangkat genggaman
tangannya. “Kalo gentlemen,
sini adu jotos! Jangan cuma berani ngelempar batu!”
Ryan terkekeh dan meletakkan batu itu ke
tempat semula. “Galak amat, Neng!” Ryan kemudian terbahak. “Lari yuk!” ajak Ryan
mengedipkan mata kirinya. Ryan terlihat sangat casual dengan kaos putih,
celana pendek warna biru tua, sepatu olah raga warna putih lusuh, dan handuk good
morning bertengger di lehernya.
Sepuluh menit kemudian, Mia sudah bersama
Ryan ber-jogging mengelilingi
perumahan mereka. Setelah dua kali putaran, kaki mereka berteriak minta
istirahat.
“Capeknyaaaaa,” keluh Mia mengusap wajah
yang berkeringat dengan handuk kecil.
“Bagus dong, itu namanya sehat,” sahut Ryan duduk meluruskan
kaki, “Kata orang, health is not
everything, but without health everything is nothing.”
“Yaaaapp itu bener banget, seratooosss!”
Mia berteriak menyetujui, mengacungkan jempol kirinya.
“Tumben kamu semangat jogging, biasanya setengah putaran minta berhenti,” ujar Ryan
meledek, “Pasti semalam habis diapelin deh, trus dibilang gendutan, jadi
sekarang niat banget olahraga biar kurus.”
“Yee sok tau!” Mia menonjok lengan Ryan. “Lagian siapaaa juga yang ngapelin.”
Ryan terbahak. “Yee curhat… Hahaha… Ya Rizal lah!”
Giliran Mia terbahak. “Enggak lah… Rizal
semalam di perpustakaan kok.”
“Gebetan kamu rajin banget malam minggu ke
perpustakaan?”
Mia menonjok lagi lengan Ryan hingga
mengaduh. “Rizal kan sibuk nyelesaiin skripsi, wajar dong kalo tongkrongannya
pindah ke perpus.”
“Kamu ini cari gebetan kok yang semester
tua, ditinggalin melulu kan jadinya? Hahaha kasihan deh temenku ini…,” Ryan
ngakak sambil mengacak rambut Mia yang basah berkeringat. Setelah lelah
tertawa, Ryan beranjak dari duduk dan bersiap pergi.
Mia mendongak. “Ke mana?”
“Ya pulang ke rumah lah dong yaaa. Baru
ngomongin Rizal bentar aja udah mencong-mencong kan otaknya, bener-bener deh
cinta bikin saraf otak terganggu hahaha,” jawab Ryan sambil berlari kecil.
Setelah berjalan seratus meter, sampailah
di depan rumah Mia. “Aku duluan ya, Yan,” Mia membuka pintu
pagar.
Ryan mengerling. “Jam sepuluh aku mau nemenin Nadia ke Kampung Roti, mau join?”
“Mau dong mau dong mau dong!!” girang Mia.
“Aku mau muffin-nya Kampung Roti, mau pisang caramelnya juga, hhhmm lezatoss!!”
“Iya udah sana buruan mandi, kagak pakai
lama! Aku jemput, harus udah siap. Kalo belom siap, aku tinggal,” ancam Ryan.
Mia bergegas masuk ke dalam rumah.
Setibanya di kamar, ia mendapati lampu merah di atas tubuh BlackBerry-nya berwarna merah dan berkedap-kedip. Ia mendapatkan lima misscalled, satu
dari Nadia dan empat misscalled dari
Rizal. Serta ada dua pesan BlackBerry
Messanger dari Nadia dan juga Rizal.
# Nadia_Maharani
Sayooongku Miaaa, aq mau ke kampung roti ni
sama Ryan.
Ikutan yuukk, ngidam donatnya nihh..
Kamu mau juga kan?
Halooo Mi?!
PING!!
Lama amat balesnya, masih tidur nih pasti :(
# Rizal
PING!!
Aq tlp gak bangun juga?
Klo udh bangun, miskol ya.
PING!!
PING!!
Ya ampun gak kebangun ya?
Dasar kebooo haha.
Miskol ya kalau udah bangun :)
Hwaaa!! Mia jumpalitan mendapati BBM dan misscall dari Rizal bertubi-tubi.
Setelah membalas BBM Nadia, Mia me-misscall
Rizal dengan hati berdebar.
Do you ever think when you're all alone
All that we can be, where this thing can go?
Am I crazy or falling in love?
Is it really just another crush?
Crush mengalun dari
ponsel Mia beberapa detik kemudian. Rizal
calling.
“Halo, Mi?”
“Ya.”
“Lama banget angkat telponnya, baru bangun?”
Mia merona. “Udah bangun dari tadi sih,
habis jogging nih sama Ryan.”
“Pantes ngos-ngosan suaranya.”
“Hahahaaa bisa aja, barusan sampe rumah
ini. Kamu baru apa, Zal?”
“Baru istirahat aja, ngilangin capek.”
“Habis futsal?”
“Iya, main futsal abal-abal sama
sodara-sodara sepupu,” lanjut Rizal, ”Eh, hari Minggu begini rencana mau pergi
ke mana kamu, Mi?”
Jangan ajak pergi hari ini, please… Aku ada janji sama Ryan dan Nadia nih.
“Nggak ke mana-mana sih kayaknya, di rumah
aja. Kenapa?”
Ajakin aku jalan hari ini nggak masalah sih sebenarnya, pergi ke
Kampung Roti masih bisa kapan-kapan kok.
Rizal tertawa kecil sebentar. “Cari kerjaan
kek, ngapain kek, bersihin rumah kek, benerin genteng kek, daripada
Minggu-Minggu tidur mulu nanti kamu gendutan lho hahahaa.”
“Yee ogah lah naik-naik genteng. Emangnya
kamu mau ke mana, Zal?”
“Mau ke rumah Pak Mahfud, mau konsultasi,”
jawab Rizal tidak memenuhi harapan Mia.
Yaaahhhh kecewa berat. “Waa skripsi udah selesai, Zal?”
“Belom, Mi. Makanya mau sharing sama beliau.”
“Sip, mudah-mudahan buruan selesai
skripsinya, buruan kerja, hahahaaa….”
“Dan buruan ngelamar kamu ya, Mi? Hahahahaa….”
Mia menjerit tak bersuara. Tubuhnya kini
berguling-guling di kasur. Kalimat Rizal menembus alam bawah sadarnya.
Membuatnya benar-benar terjerembab dalam cinta. Love can drives you crazy.
“Hehehe…,” cuma kata ini yang bisa keluar
dari mulut Mia, walau sesungguhnya dalam hati ia mengamini kalimat Rizal
berkali-kali.
“Ya udah gih buruan mandi, baunya sampai
sini, bau kambing.”
“Hahaha iyaaa aku mandi sekarang.”
“Oke, have a great day, Mi.”
“You too, Zal.”
-klik-
Mia melempar ponselnya sembarangan. Senyumnya merekah. Benar-benar sedang dibuai asmara. Mia menghentikan perilaku konyolnya
ketika kemudian nama Nadia muncul di layar ponselnya. “Haaalllaaaaawwwwww Nadiaaaaaaa!!!”
“Buset! Aduh! Sadis banget teriakannya!”
“Ahhh maca ciiiiiiyy??” Mia beranjak dari
tempat tidurnya, berjalan menuju cermin.
“Lebay deh…,” gerutu Nadia. “Ohhh habis
telponan sama Rizal nih pasti?”
Mia melihat wajahnya di cermin. Merah
total. Tersipu-sipu. Hatinya melayang-layang. “Iyaaa doongg, kamu pintar deh
bisa nebak hahahaa….”
“I know
you well, darling Mia. Jadi ikut ke Kampung Roti?”
“Jaadiiiii donggggss,” sahut Mia lebay.
“Miaa! Ngomongnya biasa aja dong jangan
ganjen-ganjen, risih tau!” Protes Nadia.
Mia terbahak. “Hahahaha ya udahhh maapp
yaaa namanya juga lagi bahagiaaa.”
“Iyaaaa tauuu yang lagi kesambet cinta.
Udah, buruan mandi!!”
***
lebih lengkap bisa dibeli di www.cetakbuku.net
No comments:
Post a Comment